Sabtu, 13 Juni 2009

Malam yang penuh Kelabu...

Rabu, 9 Juni 2009, 19:47:57, tiba-tiba ada SMS masuk. Semua masih terpatri dalam otakku. Isinya seperti ini:

“Bsmllh.li pntn nya...kdhna mh eli th jntn juara k3,ngn dwn juri cerpen na keu2h msihn syrt kdh psrt t ‘...’.ana tdi ts nyrios k pnitia,pntn w t tysa mrjuangkeun nu lngkung.”

Drop! Drop! Drop!

Dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini.

“Bismillah... li maaf ya... seharusnya Eli tuh jadi juara ke 3, tapi dewan juri cerpennya bersikeras (ngotot) memberi syarat harus peserta dr kota ‘G’. Saya tadi sudah bicara ke panitia. Maaf saja ngga bisa memperjuangkan yang lebih.”

Kepala yang memang lagi pusing jadi tambah pusing.... air mata pun tak kuasa kutahan. Bahkan aku pun tidak bisa membedakan apakah air mata itu air mata sedih, kecewa, atau sakit hati. Yang pasti, saat itu aku menangis dalam diam. Harapanku satu-satunya musnah sudah.

Aku mengikuti lomba cerpen di kota ‘G’. Aku mendapat SMS dari teman, dan dia mendapatkannya dari mahasiswa di Universitas di daerah ‘G’, untuk mengikuti beberapa lomba yang salah satunya adalah lomba menulis. Kebetulan aku sangat suka menulis. Aku pun bertekad untuk mengikuti lomba tersebut.

Satu hal yang yang pasti, perlombaan tersebut adalah harapanku satu-satunya untuk mendapatkan uang. Jika aku jadi juara, aku akan membayarkan uang juara tersebut kepada sekolah. Utangku pada sekolah sudah membludak. Karena itulah, saat mendengar (melihat sih tepatnya...) ada lomba menulis, apalagi cerpen, aku berantusias sekali untuk mengikutinya. Dengan bermodalkan kemampuan yang seadanya, namun dengan semangat dan tekad yang kuat untuk memenangkan lomba tersebut. Aku bertekad. Aku pasti menang!!! Pasti!

Tidak mudah membuat sebuah cerpen, namun juga bukan sesuatu yang sulit. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan cerpen itu. Akhirnya, tanggal 6 Juni 2009, hari terakhir mengirimkan cerpen, aku selesai membuat cerpen yang kutekadkan memenangkan lomba, walau harus juara terakhir.

Akhirnya, SMS itu datang dan membawa kabar tersebut. Salahkah aku jika mengatakan bahwa ini adalah kabar buruk???

Selama beberapa menit, aku kehilangan keseimbangan. Emosiku yang masih labil membuat aku cepat terbawa amarah, nafu. Aku yang cengeng, saat itu tanpa terasa dan tanpa bisa dicegah lagi menangis, dan jujur saja, aku ‘sakit hati’.

Saat itu bermunculan aneka fikiran yang berlintas di benakku.

“Ini tidak adil!!!”

“Kalau memang orang luar ‘G’ tidak boleh menang, kenapa boleh mengikuti lomba???”

“Kenapa dewan juri tetap membaca cerpenku, padahal mungkin mengetahui sebelumnya kalau cerpen itu karyaku, orang luar ‘G’???”

“Kenapa lomba lain bisa dari luar ‘G’, tapi cerpen ngga????”

“Kenapa???”

“Kenapa???”

Dan mengalirlah makhluk yang bernama ‘kenapa’ menghantui pikiran dan perasaanku.

Namun tiba-tiba, entah ada ‘ilham’ dari mana, secercah cahaya itu datag, menyadarkanku dari pemikiran gelap dan keliru.

“hey, hey, hey,”

Aku menulusuri kembali niatku. Yaa Allah... maafkan aku... mungkin semua ini karena niatku yang tidak ulus karena-Mu... semuanya karena obsesiku untuk mendapatkan uang, sehingga lupa, bahwa apapun harus dilakukan karena-Mu.

Kenapa aku tidak bersyukur? Seharusnya aku bersyukur, karena walaupun ga menang, cerpenku setidaknya pernah masuk nominasi 3 besar. Namun karena Allah belum mengizinkan aku tuk jadi juara... apa boleh buat? Yang penting cerpenku udah diakui, dan itu adalah prestasi terbesar, kan?

Optimis, dong eL!!!

Lambat laun, akhirnya aku menyadari kekhilafanku, emosiku pun kembali stabil.

Yaa Allah... maafkanlah aku... maafkan aku yang sempat tidak menyimpan Kau di atas segalanya... maafkan aku Yaa Allah... karena aku sangat berharap pada cerpen itu, bukan pada-Mu... Ah, sungguh aku malu pada-Mu... Maafkan aku Yaa Allah... dan sedikit demi sedikit akan kurangkai kembali harapan yang pernah pudar, dan akan kulakukan semuanya karena-Mu, sesuai dengan cerpen yang kuikuti dalam lomba tersebut, Menuju Ridha-Mu...

Jumat, 10 April 2009

Forum Curhat...

Maafkan Aku Mama…

Rabu, 8 April 2009

Wahai ‘sahabat’… hari ini akan kuceritakan sebuah kisah yang baru saja kualami tentang luasnya pintu maaf seorang ibu. Malam tadi aku tidur agak siang dari biasanya. Mungkin karena kecapean, aku tidur pukul 20.00 WIB, yang biasanya aku tidur antara pukul 22.00 – 24.00 WIB. Karena tidak biasa itulah pukul 01.00 WIB aku bangun. Saat itu aku lihat mama masih menjahit pakaian tetanggaku. Mamaku bukan seorang penjahit. Untuk menyelesaikan jahitannya itu mama harus berjuang, bekerja keras,mengerahkan seluruh pikiran dan kemampuannya supaya hasil jahitannya memuaskan. Pakaian itu harus sudah jadi dan sudah dikembalikan kepada pemiliknya hari Kamis, 9 April 2009 siang. Karena itulah, dengan keahlian yang seadanya, ibu bekerja siang dan malam. Lupa makan, apalagi pekerjaan rumah. Lupa anak-anaknya, begitu juga dengan suaminya. Begitulah mama. Dia bisa melupakan segalanya jika sedang focus pada satu pekerjaan.

Kembali ke permasalahan awal, saat aku terjaga, aku tidak langsung beranjak dari tempat tidur. Apalagi kembali memejamkan mata. Rasa kantuk seolah tidak ada. Aku pun mengambil buku yang kupinjam dari adik kelasku (yang sudah lama belum kukembalikan… ^_^)

Sahabat, ternyata waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa waktu menunjukan pukul 03.00 WIB. Waktunya shalat malam. Aku pun shalat. Selesai shalat malam, sekitar pukul 04.00 WIB, akhirnya rasa kantukku muncul. Jam 4 sodara-sodaraku sekalian!!! Rasa kantuk itu benar-benar tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya aku bilang pada mama… “Mah, bangunkan eL pas adzan shubuh ya…”

“Sebentar lagi juga adzan…”

“Tuda ngantuk…”

Karena sudah tak kuat lagi menahan kantuk, aku hanya mampu mendengar jawaban ‘ya’ dari mama samar-samar.

Taukah sahabat apa yang terjadi selanjutnya??

“eL bangun! Udah siang!”

Saat kubuka mata…

Innalillahi!!!

05.34 WIB!!!

Di situ emosiku naik.

“Mah, kan tadi kata eL, bangunkan eL pas adzan shubuh. Ini kan sudah siang…”

Mama tidak menggubris. Ia ‘khusyu’ dengan mesin jahitnya.

Aku langsung wudhu. Shalat (yg entah shalat apa, karena jika dikatakan shalat shubuh, terlalu siang. Dikatakan shalat dhuha,kepagian…)

Selesai shalat,… Ya Allah… baru kusadari…secara tidak langsung aku telah memarahi mama. Berarti aku telah menyakiti perasaanya.

Bukan hanya itu saja dosa yang kulakukan pada mama di pagi itu. Saat aku membuka gorden,… mama kelihatan sangat kaget sekali. Bahkan katanya, jantungnya terasa hamper copot. Yaa Allah… sungguh! Aku tidak bermaksud untuk membuatnya kaget! Aku hanya membuka gorden karena hari sudah siang. Itu saja. Tapi tetap saja aku merasa berdosa. Aku telah menyakitinya, dengan bernada tinggi dan membuatnya kaget.

Namun sahabat… saat aku minta maaf padanya… betapa mudahnya ia tersenyum dan memaafkan aku…

Yaa Allah… betapa dosanya aku, yang telah menyakiti hati seorang ibu yang berhati lembut, mudah memaafkan…

Mama… Betapa mulianya engkau. Seberapa besarnya pun dosa kami, engkau selalu dengan mudahnya memaafkan. Walau au pun tau, kau merasa sakit…

Yaa Allah… Terima kasih karena engkau telah memberikan sosok ibu yang penyayang padaku. Alhamdulillah…

Yaa Allah… Ampunilah segala dosanya…

Yaa Allah… Berilah aku kesempatan untuk membahagiakannya…

Yaa Allah…

Allah…

Selasa, 07 April 2009

Kuesioner

Bismillahirahmanirrahiim.... Assalamu'alaikum akhwat n' ikhwan smua'y... Syukran Katsiran atas kunjungan'y d My_BLoG... Skarang, ana mau tau bagaimana pendapat antum skalian tentang beberapa hal d bawah :

About 'Sahabat'...

‘Sahabat’ pertama antum siapa tuh?

Kapan kalian mulai menemukan seorang ‘sahabat’ yg benar2 ‘sahabat’ menurut kalian?

Bagaimana pendapat antum tentang persahabatan dgn ‘lawan jenis’?

Boleh tau donk… crita sdikiiit aja tentang persahabatan antum….

About ‘Cinta”…!

Kapan antum mendapatkan cinta pertama?

Sudahkah antum mencintai Allah, Rasulullah?

Seperti apa sih bentuk cinta antum pd Allah

Mungkin tu aja dl…

Syukran atas jawaban’y…

D’tunggu pizan y……

^_^

Cerpen <1>

Cambuk dari Seorang Sahabat
“Mei, belum berangkat juga? Nanti kesiangan, lho…”, tegur kakakku. Agus. Tepatnya Agustian. Mungkin dia heran liat aku yang belum berangkat sekolah juga. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Biasanya jam 06.00 WIB aku udah berangkat ke sekolah, karena aku selalu pergi ke sekolah dengan jalan kaki.
“Yee… malah bengong…”.
“Eh, iya, Kak! Ni juga udah mau berangkat”, jawabku akhirnya.
“Hmm… Ayo donk cepetan berangkat. Sebentar lagi pasti udah masuk. Nanti kalo kesiangan kena hukuman lagi loh…”, pesan Kaka. Fiuh,… Kaka benar. Kalo aku kesiangan, aku pasti kena hukuman. Tentu saja aku akan ngerepotin Kaka lagi. Bahkan ngerepotin Mama dan Bapa juga.
“Kalo gitu, Mei berangkat dulu ya, Ka! Do’ain, ya… mmm… semoga Mei ngga kesiangan”.
“Ya. Tentu saja. Kaka pasti selalu do’ain Mei”.
* * *
Fiuh,… akhir-akhir ini aku jadi kurang semangat dating ke sekolah. Buat belajar pun aku jadi males. Sekali aja liat buku pelajaran, atak ini langsung dret-, ngga bias dibuat mikir.
“Hai, Mei, lagi ngapain?”, Tanya Ela, temen sebangkuku sekaligus sahabatku.
“Biasa… La sendiri udah dari mana?”, tanyaku sambil mesem-mesem. Soalnya ketauan lagi ngelamun.
“Dari Kantor. Udah bayar SPP.Hehe… jadi malu. Udah terlambat, ya? La nunggak 2 bulan nih, Mei… dan sekarang La baru bias bayar”.
“Deg!!!”
Ah, La… Kamu, terlambat 2 bulan aja udah merasa malu seperti itu. Gimana kalo terlambat seperti aku? Apa kamu tau,La? Aku udah nunggak SPP hamper 2 tahun!!! Silahkan aja kamu hitung sendiri berapa hutangku pada sekolah. Dan apa kamu tau, La? Karena masalah nunggak bayaran inilah yang membuat Mei akhir-akhir ini jadi malas belajar. Walaupun Bu Hana, Kepala Sekolah kita, sudah mengatakan bahwa ‘Mei sekolah aja. Belajar aja seperti murid yang lain. Soal bayaran, nanti aja kalo Mei udah punya.’ KTapi,Bu. Ternyata Mei ngga bias. Tiap hari Mei diliputi rasa bersalah pada sekolah yang ngga mampu buat bayar SPP. Bahkan sekarang, prestasi Mei pun jadi nurun. Mana rasa terima kasih dari Mei tuk sekolah???
“Mei?”
“eh, ya, La?”
“Kamu kenapa? Kok nangis?”
“Eh?” aku nagis? Ya Allah,… kenapa air mata ini harus keluar?
“Kamu kenapa, Mei? Sakit?”
“Aku ngga apa-apa kok! Sungguh!!” Ya Allah,… apa yang harus aku jelaskan pada Ela???
‘Bohong!!! Kamu pasti……”
Ah,… untung saja ada guru yang datang. Tentu saja. Ela tidak bias lagi menginterogasiku lagi.
* * *
“Kenapa kamu ngga pernah cerita sama aku?” Tanya Ela tiba-tiba. Waktu pulang sekolah, tiba-tiba Ela menarik tanganku ke kelas yang kosong, dan dia langsung bertanya padaku tentang sesuatu yang tak kumengerti.
“Cerita apa, La?” tanyaku tak mengerti.
“Lalu ini apa, hmh?” tanyanya sambil menunjukkan sebuah buku. Ya Allah,… kenapa diary itu bias ada di Ela?
“Selama ini kamu anggap aku ini siapa sih? Bukankah aku udah bilang kalo kita itu sahabat? Selama ini aku selalu curhat sama kamu. Masalah apapun itu. Setiap masalah yang aku hadapi, pasti aku ceritakan sama kamu. Tapi kamu? Aku benar-benar kecewa sama kamu!!” Ela menarik napasnya dalam-dalam.
“Apa kamu tau,Mei? Mama kamu nyekolahin kamu ke sini tuh supaya kamu jadi anak pinter. Supaya kamu bias menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa mungkin. Liat donk ortu kamu! Walaupun mereka ngga punya uang, mereka tetep semangat buat nyekolahin kamu. Tapi mana hasilnya? Mengecewakan!!! Bukannya berbakti, prestasimu malah menurun drastis.”
‘Seharusnya ini jadi kesempatan buat kamu. Walaupun kamu belumbayar SPP, tapi kamu bias balas budi dengan cara berprestasi yang tinggi. Seharusnya dengan ketidakmampuan kamu dalam masalah ekonomi, itu bias menjadi cambuk buat kamu supaya kamu bias lebih berprestasi dari orang lain yang udah bayar SPP. Seharusnya kamu…..” keliatannya ela udah kehabisan napas. Dia menangis. Kami menangis.
“kenapa kamu ngga pernah cerita, Mei?” tanyanya di sela-sela tangisnya.
“Maafkan aku, La. Aku ngga mau membuat bebanmu bertambah.”
“Tapi,…”
“Tapi, sekarang aku nyadar. Kenapa ngga dari dulu aku cerita. Mungkin, bebanku akan sedikit berkurang. Dan bahkan, aku diberi cambukan. Cambukan semangat tuk jadi anak yang berguna.”
“Jadi,…”
“Ya! Mulai sekarang, akan kubuktikan kepada semua orang, kalo aku, Mei, bias menjadi anak yang berbakti, berterima kasih pada orang yang udah membuat aku jadi seperti ini”.
“Hmm,…” Ela tersenyum padaku. Senyum terhangat yang pernah ia berikan untukku. Kemudian ia memelukku.
“Inilah salah satu manfaat sahabat!”
Ya, La! Akan kubuktikan pada dunia, kalo aku,….. BISA!

Senin, 06 April 2009

Aku Bersyukur Memiliki Rasa ini Yaa Allah…

Ya Allah, mungkin aku terlambat memiliki rasa ini. Saat orang lain udah dari zaman ‘baheula’ merasakannya, aku baru beberapa hari ini. Tapi aku bersyukur, walau memang terlambat, tapi setidaknya aku masih diberi kesempatan dan kesadaran untuk memiliki rasa sayang ini.

Kamis, 2 April 2009’lah hari bersejarah itu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang spesial, yang bisa menyebabkan rasa sayang itu muncul. Kejadiannya sederhana dan singkat sekali. Hari itu aku sedang menulis, dan dia ada di dekatku, memperhatikanku, aku tau itu. Dan saat aku melirik ke wajahnya… Subhanallah…tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan selama ini. Yaa Allah… rasa itu… rasa itu…

Betapa baru kali ini aku merasakan sayang padanya. Ya! Sayang…sekali! Air mata pun tak kuasa kutahan lagi. Aku bahagia! Walaupun di balik hatiku ada yang berbisik…”Kenapa rasa ini baru muncul? Kenapa nga dari dulu? Bukankah aku slalu da di sisinya dan begitupun sebaliknya? Tidak pernah satu hari pun kami berpisah. Ya…kecuali dalam hal tertentu, seperti sekolah, kegiatan, de’el’el…”

Tapi tetap saja aku bersyukur. Karena aku sayang dia.

Dia tersenyum padaku…

Yaa Allah… Aku sayang dia…

Aku menyadari bahwa selama aku mengenalnya, aku tidak pernah baik padanya. Selalu bertengkar, saling mengejek, olok-olok…. Tapi, nga gitu-gitu banget sih…. Ya, hukum timbal balik selalu ada saat itu. Saat dia baik padaku, aku pun baik padanya. Tapi hanya sekedar itu. Bukan sayang. Hanya sekedar membalas kebaikan saja. Karena rasa sayang itu baru aku rasakan beberapa hari ini.

Yaa Alah…. Mulai saat ini aku akan menjaganya, menyayanginya, membahagiakannya, sekemampuanku…

Karena aku sayang dia…

Karena aku sayang kamu…

Wahai adikku....

Kamis, 02 April 2009

Gema Hati

Kelam, hitam, dan hati tak tentram

Menunggu sebuah kepastian

Yang tak tentu arah dan tujuan

Tentang makna dan arti sebuah kehidupan

Banyak tanya dalam hatiku

Kemana aku harus mengadu?

Siapa yang bisa tentramkan hatiku?

Apa makna hidupku?

Mengapa tak ada jalan untukku?

Kapan dan sampai kapan ku harus menunggu?

Dan bagaimana harus kulalui arus perjalanan hidupku?

Hanya gema yang ada di hati

Namun ku tak kan pernah berhenti

Tuk menanti dan mencari

Semua tanya yang mengetuk sanubari

Sabtu, 28 Maret 2009

Menungu Datangnya Kematian...

Ya Allah... Jika datang waktuku Bertemu dengan-Mu Izinkanlah aku Untuk bertaubat pada-Mu Ya Allah... Jika masa telah tiba Ku pergi dari dunia fana Ingatkanlah aku akan nama Allah Yang Maha Pencipta Ya Allah... Di sini ku menanti kapan datangnya mati Bertemu dengan Illahi Pencipta alam ini Ya Allah... Sampaikan salamku Untuk ibu dan ayahku Kerabat-kerabatku Dan sahabat-sahabatku Sampaikan pada mereka Bahwa kematianku akan tiba... Secepatnya...
....D'buat saat merasa kematian di ujung tanduk ^ 13 ApriL 2007 ^ ....