Sabtu, 13 Juni 2009

Malam yang penuh Kelabu...

Rabu, 9 Juni 2009, 19:47:57, tiba-tiba ada SMS masuk. Semua masih terpatri dalam otakku. Isinya seperti ini:

“Bsmllh.li pntn nya...kdhna mh eli th jntn juara k3,ngn dwn juri cerpen na keu2h msihn syrt kdh psrt t ‘...’.ana tdi ts nyrios k pnitia,pntn w t tysa mrjuangkeun nu lngkung.”

Drop! Drop! Drop!

Dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini.

“Bismillah... li maaf ya... seharusnya Eli tuh jadi juara ke 3, tapi dewan juri cerpennya bersikeras (ngotot) memberi syarat harus peserta dr kota ‘G’. Saya tadi sudah bicara ke panitia. Maaf saja ngga bisa memperjuangkan yang lebih.”

Kepala yang memang lagi pusing jadi tambah pusing.... air mata pun tak kuasa kutahan. Bahkan aku pun tidak bisa membedakan apakah air mata itu air mata sedih, kecewa, atau sakit hati. Yang pasti, saat itu aku menangis dalam diam. Harapanku satu-satunya musnah sudah.

Aku mengikuti lomba cerpen di kota ‘G’. Aku mendapat SMS dari teman, dan dia mendapatkannya dari mahasiswa di Universitas di daerah ‘G’, untuk mengikuti beberapa lomba yang salah satunya adalah lomba menulis. Kebetulan aku sangat suka menulis. Aku pun bertekad untuk mengikuti lomba tersebut.

Satu hal yang yang pasti, perlombaan tersebut adalah harapanku satu-satunya untuk mendapatkan uang. Jika aku jadi juara, aku akan membayarkan uang juara tersebut kepada sekolah. Utangku pada sekolah sudah membludak. Karena itulah, saat mendengar (melihat sih tepatnya...) ada lomba menulis, apalagi cerpen, aku berantusias sekali untuk mengikutinya. Dengan bermodalkan kemampuan yang seadanya, namun dengan semangat dan tekad yang kuat untuk memenangkan lomba tersebut. Aku bertekad. Aku pasti menang!!! Pasti!

Tidak mudah membuat sebuah cerpen, namun juga bukan sesuatu yang sulit. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan cerpen itu. Akhirnya, tanggal 6 Juni 2009, hari terakhir mengirimkan cerpen, aku selesai membuat cerpen yang kutekadkan memenangkan lomba, walau harus juara terakhir.

Akhirnya, SMS itu datang dan membawa kabar tersebut. Salahkah aku jika mengatakan bahwa ini adalah kabar buruk???

Selama beberapa menit, aku kehilangan keseimbangan. Emosiku yang masih labil membuat aku cepat terbawa amarah, nafu. Aku yang cengeng, saat itu tanpa terasa dan tanpa bisa dicegah lagi menangis, dan jujur saja, aku ‘sakit hati’.

Saat itu bermunculan aneka fikiran yang berlintas di benakku.

“Ini tidak adil!!!”

“Kalau memang orang luar ‘G’ tidak boleh menang, kenapa boleh mengikuti lomba???”

“Kenapa dewan juri tetap membaca cerpenku, padahal mungkin mengetahui sebelumnya kalau cerpen itu karyaku, orang luar ‘G’???”

“Kenapa lomba lain bisa dari luar ‘G’, tapi cerpen ngga????”

“Kenapa???”

“Kenapa???”

Dan mengalirlah makhluk yang bernama ‘kenapa’ menghantui pikiran dan perasaanku.

Namun tiba-tiba, entah ada ‘ilham’ dari mana, secercah cahaya itu datag, menyadarkanku dari pemikiran gelap dan keliru.

“hey, hey, hey,”

Aku menulusuri kembali niatku. Yaa Allah... maafkan aku... mungkin semua ini karena niatku yang tidak ulus karena-Mu... semuanya karena obsesiku untuk mendapatkan uang, sehingga lupa, bahwa apapun harus dilakukan karena-Mu.

Kenapa aku tidak bersyukur? Seharusnya aku bersyukur, karena walaupun ga menang, cerpenku setidaknya pernah masuk nominasi 3 besar. Namun karena Allah belum mengizinkan aku tuk jadi juara... apa boleh buat? Yang penting cerpenku udah diakui, dan itu adalah prestasi terbesar, kan?

Optimis, dong eL!!!

Lambat laun, akhirnya aku menyadari kekhilafanku, emosiku pun kembali stabil.

Yaa Allah... maafkanlah aku... maafkan aku yang sempat tidak menyimpan Kau di atas segalanya... maafkan aku Yaa Allah... karena aku sangat berharap pada cerpen itu, bukan pada-Mu... Ah, sungguh aku malu pada-Mu... Maafkan aku Yaa Allah... dan sedikit demi sedikit akan kurangkai kembali harapan yang pernah pudar, dan akan kulakukan semuanya karena-Mu, sesuai dengan cerpen yang kuikuti dalam lomba tersebut, Menuju Ridha-Mu...

Jumat, 10 April 2009

Forum Curhat...

Maafkan Aku Mama…

Rabu, 8 April 2009

Wahai ‘sahabat’… hari ini akan kuceritakan sebuah kisah yang baru saja kualami tentang luasnya pintu maaf seorang ibu. Malam tadi aku tidur agak siang dari biasanya. Mungkin karena kecapean, aku tidur pukul 20.00 WIB, yang biasanya aku tidur antara pukul 22.00 – 24.00 WIB. Karena tidak biasa itulah pukul 01.00 WIB aku bangun. Saat itu aku lihat mama masih menjahit pakaian tetanggaku. Mamaku bukan seorang penjahit. Untuk menyelesaikan jahitannya itu mama harus berjuang, bekerja keras,mengerahkan seluruh pikiran dan kemampuannya supaya hasil jahitannya memuaskan. Pakaian itu harus sudah jadi dan sudah dikembalikan kepada pemiliknya hari Kamis, 9 April 2009 siang. Karena itulah, dengan keahlian yang seadanya, ibu bekerja siang dan malam. Lupa makan, apalagi pekerjaan rumah. Lupa anak-anaknya, begitu juga dengan suaminya. Begitulah mama. Dia bisa melupakan segalanya jika sedang focus pada satu pekerjaan.

Kembali ke permasalahan awal, saat aku terjaga, aku tidak langsung beranjak dari tempat tidur. Apalagi kembali memejamkan mata. Rasa kantuk seolah tidak ada. Aku pun mengambil buku yang kupinjam dari adik kelasku (yang sudah lama belum kukembalikan… ^_^)

Sahabat, ternyata waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa waktu menunjukan pukul 03.00 WIB. Waktunya shalat malam. Aku pun shalat. Selesai shalat malam, sekitar pukul 04.00 WIB, akhirnya rasa kantukku muncul. Jam 4 sodara-sodaraku sekalian!!! Rasa kantuk itu benar-benar tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya aku bilang pada mama… “Mah, bangunkan eL pas adzan shubuh ya…”

“Sebentar lagi juga adzan…”

“Tuda ngantuk…”

Karena sudah tak kuat lagi menahan kantuk, aku hanya mampu mendengar jawaban ‘ya’ dari mama samar-samar.

Taukah sahabat apa yang terjadi selanjutnya??

“eL bangun! Udah siang!”

Saat kubuka mata…

Innalillahi!!!

05.34 WIB!!!

Di situ emosiku naik.

“Mah, kan tadi kata eL, bangunkan eL pas adzan shubuh. Ini kan sudah siang…”

Mama tidak menggubris. Ia ‘khusyu’ dengan mesin jahitnya.

Aku langsung wudhu. Shalat (yg entah shalat apa, karena jika dikatakan shalat shubuh, terlalu siang. Dikatakan shalat dhuha,kepagian…)

Selesai shalat,… Ya Allah… baru kusadari…secara tidak langsung aku telah memarahi mama. Berarti aku telah menyakiti perasaanya.

Bukan hanya itu saja dosa yang kulakukan pada mama di pagi itu. Saat aku membuka gorden,… mama kelihatan sangat kaget sekali. Bahkan katanya, jantungnya terasa hamper copot. Yaa Allah… sungguh! Aku tidak bermaksud untuk membuatnya kaget! Aku hanya membuka gorden karena hari sudah siang. Itu saja. Tapi tetap saja aku merasa berdosa. Aku telah menyakitinya, dengan bernada tinggi dan membuatnya kaget.

Namun sahabat… saat aku minta maaf padanya… betapa mudahnya ia tersenyum dan memaafkan aku…

Yaa Allah… betapa dosanya aku, yang telah menyakiti hati seorang ibu yang berhati lembut, mudah memaafkan…

Mama… Betapa mulianya engkau. Seberapa besarnya pun dosa kami, engkau selalu dengan mudahnya memaafkan. Walau au pun tau, kau merasa sakit…

Yaa Allah… Terima kasih karena engkau telah memberikan sosok ibu yang penyayang padaku. Alhamdulillah…

Yaa Allah… Ampunilah segala dosanya…

Yaa Allah… Berilah aku kesempatan untuk membahagiakannya…

Yaa Allah…

Allah…

Selasa, 07 April 2009

Kuesioner

Bismillahirahmanirrahiim.... Assalamu'alaikum akhwat n' ikhwan smua'y... Syukran Katsiran atas kunjungan'y d My_BLoG... Skarang, ana mau tau bagaimana pendapat antum skalian tentang beberapa hal d bawah :

About 'Sahabat'...

‘Sahabat’ pertama antum siapa tuh?

Kapan kalian mulai menemukan seorang ‘sahabat’ yg benar2 ‘sahabat’ menurut kalian?

Bagaimana pendapat antum tentang persahabatan dgn ‘lawan jenis’?

Boleh tau donk… crita sdikiiit aja tentang persahabatan antum….

About ‘Cinta”…!

Kapan antum mendapatkan cinta pertama?

Sudahkah antum mencintai Allah, Rasulullah?

Seperti apa sih bentuk cinta antum pd Allah

Mungkin tu aja dl…

Syukran atas jawaban’y…

D’tunggu pizan y……

^_^

Cerpen <1>

Cambuk dari Seorang Sahabat
“Mei, belum berangkat juga? Nanti kesiangan, lho…”, tegur kakakku. Agus. Tepatnya Agustian. Mungkin dia heran liat aku yang belum berangkat sekolah juga. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Biasanya jam 06.00 WIB aku udah berangkat ke sekolah, karena aku selalu pergi ke sekolah dengan jalan kaki.
“Yee… malah bengong…”.
“Eh, iya, Kak! Ni juga udah mau berangkat”, jawabku akhirnya.
“Hmm… Ayo donk cepetan berangkat. Sebentar lagi pasti udah masuk. Nanti kalo kesiangan kena hukuman lagi loh…”, pesan Kaka. Fiuh,… Kaka benar. Kalo aku kesiangan, aku pasti kena hukuman. Tentu saja aku akan ngerepotin Kaka lagi. Bahkan ngerepotin Mama dan Bapa juga.
“Kalo gitu, Mei berangkat dulu ya, Ka! Do’ain, ya… mmm… semoga Mei ngga kesiangan”.
“Ya. Tentu saja. Kaka pasti selalu do’ain Mei”.
* * *
Fiuh,… akhir-akhir ini aku jadi kurang semangat dating ke sekolah. Buat belajar pun aku jadi males. Sekali aja liat buku pelajaran, atak ini langsung dret-, ngga bias dibuat mikir.
“Hai, Mei, lagi ngapain?”, Tanya Ela, temen sebangkuku sekaligus sahabatku.
“Biasa… La sendiri udah dari mana?”, tanyaku sambil mesem-mesem. Soalnya ketauan lagi ngelamun.
“Dari Kantor. Udah bayar SPP.Hehe… jadi malu. Udah terlambat, ya? La nunggak 2 bulan nih, Mei… dan sekarang La baru bias bayar”.
“Deg!!!”
Ah, La… Kamu, terlambat 2 bulan aja udah merasa malu seperti itu. Gimana kalo terlambat seperti aku? Apa kamu tau,La? Aku udah nunggak SPP hamper 2 tahun!!! Silahkan aja kamu hitung sendiri berapa hutangku pada sekolah. Dan apa kamu tau, La? Karena masalah nunggak bayaran inilah yang membuat Mei akhir-akhir ini jadi malas belajar. Walaupun Bu Hana, Kepala Sekolah kita, sudah mengatakan bahwa ‘Mei sekolah aja. Belajar aja seperti murid yang lain. Soal bayaran, nanti aja kalo Mei udah punya.’ KTapi,Bu. Ternyata Mei ngga bias. Tiap hari Mei diliputi rasa bersalah pada sekolah yang ngga mampu buat bayar SPP. Bahkan sekarang, prestasi Mei pun jadi nurun. Mana rasa terima kasih dari Mei tuk sekolah???
“Mei?”
“eh, ya, La?”
“Kamu kenapa? Kok nangis?”
“Eh?” aku nagis? Ya Allah,… kenapa air mata ini harus keluar?
“Kamu kenapa, Mei? Sakit?”
“Aku ngga apa-apa kok! Sungguh!!” Ya Allah,… apa yang harus aku jelaskan pada Ela???
‘Bohong!!! Kamu pasti……”
Ah,… untung saja ada guru yang datang. Tentu saja. Ela tidak bias lagi menginterogasiku lagi.
* * *
“Kenapa kamu ngga pernah cerita sama aku?” Tanya Ela tiba-tiba. Waktu pulang sekolah, tiba-tiba Ela menarik tanganku ke kelas yang kosong, dan dia langsung bertanya padaku tentang sesuatu yang tak kumengerti.
“Cerita apa, La?” tanyaku tak mengerti.
“Lalu ini apa, hmh?” tanyanya sambil menunjukkan sebuah buku. Ya Allah,… kenapa diary itu bias ada di Ela?
“Selama ini kamu anggap aku ini siapa sih? Bukankah aku udah bilang kalo kita itu sahabat? Selama ini aku selalu curhat sama kamu. Masalah apapun itu. Setiap masalah yang aku hadapi, pasti aku ceritakan sama kamu. Tapi kamu? Aku benar-benar kecewa sama kamu!!” Ela menarik napasnya dalam-dalam.
“Apa kamu tau,Mei? Mama kamu nyekolahin kamu ke sini tuh supaya kamu jadi anak pinter. Supaya kamu bias menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa mungkin. Liat donk ortu kamu! Walaupun mereka ngga punya uang, mereka tetep semangat buat nyekolahin kamu. Tapi mana hasilnya? Mengecewakan!!! Bukannya berbakti, prestasimu malah menurun drastis.”
‘Seharusnya ini jadi kesempatan buat kamu. Walaupun kamu belumbayar SPP, tapi kamu bias balas budi dengan cara berprestasi yang tinggi. Seharusnya dengan ketidakmampuan kamu dalam masalah ekonomi, itu bias menjadi cambuk buat kamu supaya kamu bias lebih berprestasi dari orang lain yang udah bayar SPP. Seharusnya kamu…..” keliatannya ela udah kehabisan napas. Dia menangis. Kami menangis.
“kenapa kamu ngga pernah cerita, Mei?” tanyanya di sela-sela tangisnya.
“Maafkan aku, La. Aku ngga mau membuat bebanmu bertambah.”
“Tapi,…”
“Tapi, sekarang aku nyadar. Kenapa ngga dari dulu aku cerita. Mungkin, bebanku akan sedikit berkurang. Dan bahkan, aku diberi cambukan. Cambukan semangat tuk jadi anak yang berguna.”
“Jadi,…”
“Ya! Mulai sekarang, akan kubuktikan kepada semua orang, kalo aku, Mei, bias menjadi anak yang berbakti, berterima kasih pada orang yang udah membuat aku jadi seperti ini”.
“Hmm,…” Ela tersenyum padaku. Senyum terhangat yang pernah ia berikan untukku. Kemudian ia memelukku.
“Inilah salah satu manfaat sahabat!”
Ya, La! Akan kubuktikan pada dunia, kalo aku,….. BISA!

Senin, 06 April 2009

Aku Bersyukur Memiliki Rasa ini Yaa Allah…

Ya Allah, mungkin aku terlambat memiliki rasa ini. Saat orang lain udah dari zaman ‘baheula’ merasakannya, aku baru beberapa hari ini. Tapi aku bersyukur, walau memang terlambat, tapi setidaknya aku masih diberi kesempatan dan kesadaran untuk memiliki rasa sayang ini.

Kamis, 2 April 2009’lah hari bersejarah itu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang spesial, yang bisa menyebabkan rasa sayang itu muncul. Kejadiannya sederhana dan singkat sekali. Hari itu aku sedang menulis, dan dia ada di dekatku, memperhatikanku, aku tau itu. Dan saat aku melirik ke wajahnya… Subhanallah…tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan selama ini. Yaa Allah… rasa itu… rasa itu…

Betapa baru kali ini aku merasakan sayang padanya. Ya! Sayang…sekali! Air mata pun tak kuasa kutahan lagi. Aku bahagia! Walaupun di balik hatiku ada yang berbisik…”Kenapa rasa ini baru muncul? Kenapa nga dari dulu? Bukankah aku slalu da di sisinya dan begitupun sebaliknya? Tidak pernah satu hari pun kami berpisah. Ya…kecuali dalam hal tertentu, seperti sekolah, kegiatan, de’el’el…”

Tapi tetap saja aku bersyukur. Karena aku sayang dia.

Dia tersenyum padaku…

Yaa Allah… Aku sayang dia…

Aku menyadari bahwa selama aku mengenalnya, aku tidak pernah baik padanya. Selalu bertengkar, saling mengejek, olok-olok…. Tapi, nga gitu-gitu banget sih…. Ya, hukum timbal balik selalu ada saat itu. Saat dia baik padaku, aku pun baik padanya. Tapi hanya sekedar itu. Bukan sayang. Hanya sekedar membalas kebaikan saja. Karena rasa sayang itu baru aku rasakan beberapa hari ini.

Yaa Alah…. Mulai saat ini aku akan menjaganya, menyayanginya, membahagiakannya, sekemampuanku…

Karena aku sayang dia…

Karena aku sayang kamu…

Wahai adikku....

Kamis, 02 April 2009

Gema Hati

Kelam, hitam, dan hati tak tentram

Menunggu sebuah kepastian

Yang tak tentu arah dan tujuan

Tentang makna dan arti sebuah kehidupan

Banyak tanya dalam hatiku

Kemana aku harus mengadu?

Siapa yang bisa tentramkan hatiku?

Apa makna hidupku?

Mengapa tak ada jalan untukku?

Kapan dan sampai kapan ku harus menunggu?

Dan bagaimana harus kulalui arus perjalanan hidupku?

Hanya gema yang ada di hati

Namun ku tak kan pernah berhenti

Tuk menanti dan mencari

Semua tanya yang mengetuk sanubari

Sabtu, 28 Maret 2009

Menungu Datangnya Kematian...

Ya Allah... Jika datang waktuku Bertemu dengan-Mu Izinkanlah aku Untuk bertaubat pada-Mu Ya Allah... Jika masa telah tiba Ku pergi dari dunia fana Ingatkanlah aku akan nama Allah Yang Maha Pencipta Ya Allah... Di sini ku menanti kapan datangnya mati Bertemu dengan Illahi Pencipta alam ini Ya Allah... Sampaikan salamku Untuk ibu dan ayahku Kerabat-kerabatku Dan sahabat-sahabatku Sampaikan pada mereka Bahwa kematianku akan tiba... Secepatnya...
....D'buat saat merasa kematian di ujung tanduk ^ 13 ApriL 2007 ^ ....

Jumat, 27 Maret 2009

Puisi dr Hati yg TerdaLam...

AKU DAN HARAPANKU

Aku adalah manusia yang lemah dan tak berdaya

Yang hanya bisa tertawa disaat bahagia

Dan hanya bisa menangis disaat terluka

Aku adalah manusia yang bodoh dan tak berguna

Yang hanya bisa berteriak ‘tolong’ saat butuh pertolongan

Dan hanya bisa ucapkan ‘terima kasih’ saat menerima kebaikan orang

Aku adalah manusia yang tak punya hati dan perasaan

Yang hanya bisa melihat penderitaan orang

Tanpa bisa berbuat apa-apa

Dan hanya bisa mendengar teriakan orang

Tanpa bisa menghentikan teriakan mereka

Aku adalah manusia yang banyak noda dan dosa

Yang hanya bisa berbuat apa yang kuinginkan

Tanpa tahu apakah perbuatan itu boleh atau dilarang

Dan hanya bisa memohon ampun atas segala kesalahan

Tanpa bisa merubah kesalahan menjadi kebaikan

Tapi aku adalah manusia yang punya harapan

Harapan tuk menjadi manusia yang kuat dan berdaya

Menjadi manusia yang berguna

Menjadi manusia yang punya hati dan perasaan

Dan mempunyai makna dari kehidupan

Karena aku hanyalah manusia biasa

Bukan malaikat yang tanpa dosa

Juga bukan syetan yang penuh dosa

Rabu, 25 Maret 2009

Kepuasan

Apa yang akan ‘sahabat’ lakukan jika sesuatu yang ‘sahabat’ inginkan tercapai? Bingung dengan pertanyannya? Gini deh. Misalnya kita pengen punya sepeda, suatu hari sepeda itu bisa kita beli dengan uang sendiri. Pertanyaannya, apa ‘sahabat’ merasa puas dengan apa yang ‘sahabat’ dapatkan? Well, saya kurang percaya dengan kepuasan ‘sahabat’. Saya yakin, ‘sahabat’ pasti punya keinginan untuk mendapatkan yang lebih dari sepeda. Motor, misalnya. Setelah dapat motor, pengen mobil, begitu seterusnya. Loh, emangnya salah jika kita mempunyai keinginan setelah keinginan yang lain tercapai?

Tenang, tidak ada seorang pun yang akan menyalahkan ‘sahabat’. Yup! Sebagai manusia, wajar saja jika kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan. Malahan bagus banget lho jika kita mempunya rasa ketidakpuasan ini. Kebayang ngga kalo kita ngga punya rasa ini? Punya uang Rp 100,00 saja udah puas, tanpa mencari lagi uang yang banyak… hmm… gimana nantinya?

Kita harusnya bersedih jika kita tidak punya rasa puas ini. Jangan sampai kita mudah merasa puas kalo hasil yang kita dapatkan belum maksimal. Jangan sampai kita merasa puas dengan ilmu yang kita miliki sampai-sampai tidak mau lagi belajar. Tidak terkecuali dengan harta. Jangan merasa cukup dengan uang yang ada di saku, mobil avanza yang berjajar di garasi, alat-alat furniture yang terbuat dari emas, de-el-el.

Sekali lagi saya tekankan, JANGAN PERNAH MERASA PUAS!!!

Tapi,… kok tapi? Iya donk. Sesuatu yang ada di dunia ini ga akan rame kalo ga ada tapinya. Heuheu… ada satu hal yang harus kita ingat. Jangan pernah merasa puas kecuali dengan 3 hal.

Pertama, puas dalam melakukan kemaksiatan. Satu kali saja kita melakukan kemaksiatan, tekadkan diri untuk tidak mengulanginya lagi. Cukup satu kali saja kita terjerumus dalam lubang dosa. Contohnya berbohong. Biasanya, satu kali saja kita melakukan kebohongan, maka akan merentet pada kebohongan-kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongannya itu. Makanya, tekadkan hati untuk mencukupi kebohongan itu.

Kedua, merasa cukup jika apa yang kita lakukan tidak berguna, tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang waktu saja. Contohnya, main judi. Sekarang banyak kan remaja seusia kita yang melakukan judi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terakhir, puas dengan perbuatan yang tidak bernilai ibadah. Hidup kita seluruhnya adalah ibadah. Oleh karena itu, buat apa jika kita melakukan perbuatan yang tidak ada unsur ibadahnya. Ibadah bukan hanya rutinitas saja seperti shalat, zakat, puasa, tetapi main ke rumah teman saja dengan niat ingin mempererat tali silaturahmi adalah ibadah.

‘Sahabat’, semua tergantung pada niat kita. Karena niatlah yang mencerminkan kemana langkah kita akan melaju. Untuk itu, tancapkan niat dalam diri kita bahwa apapun yang kita lakukan tidak termasuk perbuatan maksiat, yang tidak berguna, dan tidak bernilai ibadah.

cerpen <5>

Ah, Deca…

*Versi k'2*

“Ca!” yang dipanggil langsung menoleh ke arahku. Hanya sekejap. Setelah itu ia kembali menekuni pekerjaannya, bertelepon ria. Kali ini entah dengan siapa Deca telpon-telponan. Selalu saja begitu. Setiap aku menghampirinya atau berada di sisinya, di telinga Deca pasti sudah terpasang headset. Aku sampai tidak hapal siapa saja teman telpon dan SMSnya. Buanyak sekali bo. Pusing dech! Aku sudah bosan mengingatkannya. Aku masih ingat percakapan antara kami sepulang sekolah.

“Ca, apa kamu ga bosen telpon-telponan terus kayak gitu? Ga panas tuh kuping? Ga takut tuli muda?” tanyaku yang saat itu dibonceng Deca. Abis, aku takut terjadi apa-apa. Tabrakan, misalnya. Karena Deca ga focus k eke motornya. Masa bonceng aku sambil telponan sama cowoknya…?

“Deca, kamu ga liat apa, di depan ada truk gede (emang ada ya truk yang kecil? Heuheu…)???” teriakku ke telinganya. Dan yang membuatku semakin sebel en kesel adalah dia malah ngakak (tertawa sodara-sodara).

“Aduh, Gis…. Pliz deh. Yang panas tuh kuping Eca, yang bakalan tuli juga Eca, bukan Agis. Kalo Eca yang telpon-telponan tapi Agis yang tuli, baru Eca boleh protes. Lagian, selama ini Eca baek-baek aja kan? Kuping Eca masih normal, dan yang pasti… I’m happy!!!”

Setelah itu aku ga bias ngapa-ngapain lagi. Cape sendiri. Yah… mudah-mudahan… Deca sadar sendiri dan mulai mengurangi jatah waktunya tuk nelpon para cowok bego (ih, itu asli kata Indah lho…. Sebutan para cowok yang suka telponan sama Deca).

* * *

“Gis, ngaji ke mesjid Al-Ma’mun yuk!” ajak Deca sambil narik-narik bajuku. Kayak anak kecil aja… saat itu aku baru aja selesai shalat isya. Belum sempat makan. Tapi bukan itu yang membuatku kaget. Deca ngajak ke pengajian? Di mesjid Al-Ma’mun, lagi? Wah, asli deh. Aneh banget. Keajaiban dunia, friend! Biasanya kalo aku ajak dia ke pengajian, dia pasti nolak. Secara halus maupun sebaliknya. Makanya, dengan sisa-sisa keherananku, walaupun aku rada malas, aku pergi aja ke pengajian itu. Demi merayakan perubahan Deca.

* * *

“Gis, ke Al-Ma’mun lagi, yuk!” ajak Deca. Aku hanya mendelik. Kapok. Ga mau lagi deh nganter en sama-sama Deca ke jalan Al-Ma’mun. Minggu kemaren aku seneng banget dengan perubahan Deca yang mau ke pengajian. Tapi itu sebelum aku tau apa motif kepergiannya itu. Setelah tau motif Deca yang sebenarnya pengen ketemuan sama salah satu temen cowoknya di HP, kapok deh! Aku cumin dijadikan kambing congek. Aaaa…. Deca….

Katanya, Deca ga diijinin keluar rumah sama ibunya kalo untuk ketemuan sama cowok. Makanya, Deca menggunakan aku sebagai tumbal dan bilang ke orang tuanya kalo dia mau ke pengajian sama aku. Mereka ga akan curiga kalo Deca perginya sama aku. Aku kan anak baik (Ciye…. Narsis euy!).

Aku ngga bisa berbuat apa-apa selain berdoa supaya Deca berubah, kembali seperti yang dulu. Semoga kau berubha Deca…. Aku merindukan sosok Deca yang seperti dulu. Deca yang baik, yang selalu digandrungi sama sahabat-sahabatnya. Ah, Deca…

cerpen <4>

SESUATU YANG PALING TIDAK KUINGINKAN
Kalo ada orang yang tanya padaku, apa sih yang paling tidak kuinginkan? Maka aku tidak akan berfikir dua kali untuk menjawabnya: Sesuatu yang paling sangat tidak kuinginkan adalah PUNYA ADEK. Yup! Bagiku, kehadiran seorang adek hanya sebagai pengganggu saja. Di rumah, di luar rumah, diii… mana saja. Dia hanya mengganggu ketentraman hidupku. Dia hanya sebagai perusak kebahagiaanku. Coba aja bayangin. Waktu aku belum punya adek, aku lah yang paling disayang sama Papa, dimanja sama mama, dan dikabulkan semua permintaanku. Tapi semenjak dia datang, uuuh… semuanya jadi berantakkan. Ga disayang lagi. Ga dimanja lagi. Minta ini ga boleh. Mau itu harus dibagi- bagi sama adek. Sebel, kan ??? Udah jatah jajan dikurangi, eeh… jatah manja- manjaan apalagi.
Yang paling sangat menyebalkan adalah… aku harus mencuci baju, celana, sama popoknya. Bisa dibayangin gimana baunya celana dia. Uuuh… baaauuu…. Tidak cukup sampai di situ saja penderitaanku. Makhluk kecil ini ternyata sepertinya menyukaiku. Dia hanya mau bermain denganku di samping mama dan papa. Dia ngga mau diasuh oleh baby sitter sewaan papa, apalagi sama keponakan papa yang wajahnya menyeramkan itu.
Sekali lagi, sepertinya dia munyukaiku. Otomatis, aku lah yang harus mengasuhnya setelah pulang sekolah. Menyebalkan! Pokoknya, semenjak dia hadir di tengah keluargaku, aku jadi super menderita. Ah, andai saja aku tidak punya adek, mungkin…
“Gubrak!!!” suara itu sangat jelas sekali di telingaku. Oh, tidak! Dia… dia jatuh dari tempat tidur. Aku sangat takut saat kulihat dia tidak bergerak. Oh, my God…
* * *
“Eri… adikmu…” mama melukku dengan tetap menagis. Aku ngga tahu kenapa ia tidak melanjutkan kata- katanya. Yang aku tau, aku segera berlari ke kamar ‘Melati 102’. Kulihat tubuhnya yang kaku, tidak bergerak. Ya Tuhan, kenapa aku menangis? Bukankah aku ingin dia pergi? Bukankah aku tidak mau punya adek? Tapi kenapa? Kenapa air mata ini…
Tanpa sadar, aku mengguncang- guncangkan tubuh adekku supaya dia bangun. Aku ngga mau hal ini terjadi. Aku ngga mau kehilangan dia. Aku ingin dia menemani hari- hariku seperti biasa. Tapi dia tetap tidak bergerak.
Ya Tuhan, aku janji. Jika adekku bangun dan sembuh, aku akan menyayanginya sepenuh hatiku. Aku akan menjaganya semampuku. Ya, Tuhan…
* * *
“Ka… kok kaka melamun sih? Ngelamunin pacarnya ya….?” Goda adekku manja. Dasar! Mana sempet aku mikirin pacar. Wong pacarnya aja blom punya.
Ah, Geo… andai aja kamu tau, kaka sediiiiih banget. Kamu tau kenapa? Karena kaka menyesal. Kaka menyesal telah menelantarkan adek kaka yang selama ini baru kaka sadari kalo kaka menyayanginya. Apakah dia tau kalo aku mencintainya?
“Kalo bukan ngelamunin pacar, trus apaan donk? Mikirin Geo ya? Ayo ngaku!” selidik Geo sambil tak lupa mengguncang badanku hingga aku jatuh ke belakang.
“Kok kamu tau, sayang?” tanyaku balik. Aku ingin mengujinya.
“Ya iya lah…. Aku yakin kaka lagi mikirin aku karena aku juga lagi mikirin kaka.” Jawabnya membuat hidungku kembang kempis keGRan. Aku terharu. Tanpa sadar, aku memeluknya erat. Ya, Tuhan, aku mohon, jangan pisahkan lagi aku dengan adekku yang sangat aku sayangi ini! Aku ngga mau kalo sampe kejadian itu terulang lagi. Aku ngga mau. Aku ngga mau kehilangan kamu, Geo. Cukup hanya satu kali penyesalan yang aku alami. Cukup hanya Isna saja yang aku telantarkan. Isna, semoga kamu mendengarku di alam sana . Aku sayang sama kamu. Maafkan atas semua kesalahan uang kaka lakukan padamu sewaktu kamu masih hidup. Sekarang kita punya adek. Dia adalah Geo. Kaka sangat sayang sama dia, seperti rasa sayang kaka pada Isna. Kaka janji. Kaka ngga akan menyakitinya. Kaka akan mencintainya sepenuh jiwaku.
Kurasakan ada pelukan hangat dari adekku, Geo. Sungguh, tidak ada yang patut melukiskan kebahagiaanku melihat aku telah bersama dengan adek yang aku cintai dan mencintaiku.
Ya, Tuhan. Kini aku sadar. Sesuatu yang paling tidak aku inginkan adalah kehilangan adek.
Spesial bwt aDe eL... I Love You...

cerpen <3>

Demo lagi, demo lagi. Sepertinya ngga ada kegiatan lagi selain demo ini yang bisa dilakukan di negara kita, Indonesia . Demo penolakan kenaikan BBM lah, demo kebebasan beragama, demo emansipasi wanita lah, de-el-el. Kita emang negara yang demokrasi, tapi kalo harus menekan korban jiwa sih, apa itu yang dinamakan demokrasi??? “Emang. Demokrasi. Tapi demokrasi yang kebablasan.”begitulah kata temenku, Dewi. Aku setuju banget dengan pendapatnya.
“Lain kali, aku juga mau demo ah. Demo tentang kebebasan mengerjakan PR!”seru Fita. Kami semua tertawa. Ternyata Fita masih menyimpan n’ menimbun rasa dendamnya pada Bu Ratna yang telah menghukumnya karena tudak mengerjakan PR Matematika. Selain harus mengerjakan tugasnya yang fery doble, Fita juga harus mengumpulkan tusuk sate sebanyak 10 tusuk yang ada di halaman sekolah, yang menurutku tidak akan sampai 5 tusuk jumlahnya. Mana ada sampah yang berserakan di sekolah kami ini. Karena kalo ketahuan buang sampah sembarangan akan dihukum. Tau ngga apa hukumannya? Mindahin sampah yang ada di dalam tong sampah depan kelas 1 sampai kelas 3 ke TPAS alias Tempat Pembuangan Akhir Sekolah yang tepatnya berada di belakang sekolah. Bukan itu aja. Mereka juga harus memisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik. Wua… mana ada yang mau belepotan sampah yang bau itu hanya karena males buang plastik bekas permen. Ngga ada yang mau ambil resiko.
So, dengan sangat terpaksa sekali, Fita yang tidak menemukan 1 tusuk sate pun di halaman sekolah, rela ngubek-ngubek sampah di TPAS yang super bau itu untuk nyari 10 tusuk sate. Menyebalkaaaaaaaaaaan!!!!!! Begitulah teriak Fita selesai mendapatkan 15 tusuk sate yang ia dapatkan dengan sangat susah payah sekali. Dia sempet-sempetnya ngumpulin tusuk sate lebih dari yang dibutuhkan.
“Ini tusuk sate cadangan kalo suatu hari nanti dihukum lagi.”Gerutunya sebel.
“Emangnya kamu udah punya rencana buat dihukum lagi, Ta?”tanyaku menggodanya. Abis, aku paling seneng kalo godain orang yang lagi cemberut. Apalagi kalo Fita yang cemberutnya. Lucu…..
“Yah, sapa tauminggu depan kamu lupa ngerjain PR. Jadi, aku udah bantu nyariin nih. Aku kan sobat yang care. Ngga kayak kalian. Bukannya bantu nyariin, malah ngetawain… dasar!” gerutunya lagi makin cemberut.
“sorry deh, Ta. Tadi kita sebenernya bantu nyariin kok. Cuman sayangnya ngga dapet-dapet. Mm… tapi kita kan dah bantu, ye…” sela Dewi membela diri.
“Huuh…”
“Eh, ngomong-ngomong, demonya jadi ngga nih?”tantangku mengingatkan Fita dengan niatnya yang akan pengen demo.
“Demo? Males ah. Soalnya, mau gimanapun, yang namanya demo, ngga bisa ngerubah keputusan.bukan penyelesain masalah yang kita dapatkan. Malah penambahan masalah. Nanti yang ada malah kena hukuman lagi, deh.”
Setelah ngucapin kata-kata itu, Fita langsung beranjak dari kursi dan berlalu ke kelas karena bel masuk berbunyi.
Fita benar. Katanya, dia sering liat berita-berita di TV yang infonya tentang demo-demoan melulu. Dan Fita tau. Bukan solusi yang didapatkan dari demo. Tapi masalah yang semakin bertambah.
Kalo ngga salah sih, begitu yang diucapkan Fita pada waktu yang lalu. Ada benernya juga sih. Soalnya, keadaan di Indonesia saat ini, dengan sering diadakannya demo yang dilakukan oleh beberapa pihak, malah membuat keadaan semakin rumit.
^_^

Cerpen <2>

DECA

“Ca!”

Yang dipanggil langsung menoleh ke arahku. Hanya sekejap. Setelah itu ia kembali menekuni kerjaannya. Bertelepon ria. Selalu saja begitu. Setiap aku menghampirinya atau ada di sisinya, di telinganya pasti sudah terpasang headset dan sedang cuap-cuap sama cowoknya. Kali ini, entah dengan siapa Deca telpon-telponan. Aku sampai tidak hapal siapa saja temen telpon dan SMS-annya. Saking buanyaknya, bo. Puzing deh.

Aku udah bosen mengingatkannya. Aku masih ingat percakapan kami sepulang sekolah.

“Ca, apa kamu ga bosen telpon-an terus kayak gitu? Ga panas tuh kuping? Ga takut tuli muda?” tanyaku saat dibonceng sama Deca. Abis, aku takut banget terjadi apa-apa. Tabrakan, misalnya. Krena Deca ngga focus ke motornya. Masa bonceng aku sambil telpon-an sama cowok…. Dasar!

“Deca…. Kamu ga liat apa, di depan ada truk, tau!!!” teriakku ke telinganya biar rebek sekalian. Dan yang membuatku semakin kesel en sebel, dia malah ngakak. Tertawa sodara-sodaraku sekalian…

“Aduu…. Gis…. Please deh! Yang panas kan kuping Eca. Yang tuli juga kuping Eca. Bukan Agis. Kalo Eca yang teleponan tapi Agis yang tuli, baru Agis boleh protes. Lagian… selama ini Eca baek-baek aja kan? Kuping Eca masih normal. Dan yang pasti, I’m happy!!!” setelah itu, aku ga bias apa-apa lagi. Cape sendiri. Yah… mudah-mudahan Deca sadar sendiri dan mulai mengurangi jatah waktunya untuk telponan sama para cowok bego (eh, itu asli kata Indah, lho…. Sebutan para cowok yang suka teleponan sama Deca)

* * *

“Gis, solat taraweh ke Al-Ma’mun, yuk!” ajak Deca sambil menarik-narik mukena yang masih kupakai. Aku baru saja selesai shalat Maghrib. Belum sempat makan makan acan. Padahal perut lapar banget setelah seharian ga makan dan minum. Tapi bukan itu yang membuatku kaget. Deca ngajak ke mesjid? Mesjid Al-Ma’mun, lagi? Wah, asli deh. Aneh banget. Malem-malem sebelumnya, kalo aku ajak ke mesjid An-Nur yang ada di dekat rumah kami, dia selalu menolaknya. Alasannya sih ga masuk akal, pastinya. Males, katanya. Tapi sekarang? Deca ngajak ke mesjid Al-Ma’mun yang bacaannya pada panjang itu? Duh, keajaiban dunia, friend!

* * *

“Gis, nanti taraweh ke mesjid Al-Ma’mun lagi, yuk!” ajak Deca. Aku hanya mendelik. Kapok. Ga mau lagi deh nganter or sama-sama Deca ke mesjid Al=Ma’mun. kemaren, aku seneng banget ngeliat perubahan Deca yang mau shalat tarawih ke Al-Ma’mun. tapi itu sebelum aku tau motif kepergiannya itu. Setelah tau motif Deca yang sebenarnya pengen ketemuan sama salah satu temen cowoknya di HP… kapok deh. Aku cuman dijadikan kambing conge. Aaaaaaaa……. Decaaaaaaaaaaa…… Katanya, Deca ga diijinin keluar rumah kalo untuk ketemuan sama cowok. Makanya Deca menggunakan aku sebagai tumbal dan bilang ke ortunya kalo kami mau shalat tarawih ke Al-Ma’mun. dasar! Emangnya aku apaan?!?!

Deca, di bulan yang suci ini, aku berharap dan berdo’a, semoga kamu berubah. Semoga di bulan yang penuh berkah ini, kamu diberi hidayah oleh Allah. Jadikanlah bulan yang penuh hikmah ini sebagai ajang pelatihan untuk menjadi pribadi yang baik dan shaleh. Aamiin…

Selasa, 24 Maret 2009

Untuk Sahabatku...

Sabar! Hmm.... mungkin kata inilah yang sering saya katakan pada orang yang curhat pada saya. Ishbir! Sabarlah! Sabarlah kawan....! Beragam alasan yang akan saya luncurkan mengapa harus bersabar... Diantaranya: >> Innallaaha Ma'ashsaabiriin.... >> Allah punya rencana lain dibalik masalah yg kita hadapi... >> Mungkin Allah sayang sama kita... Itulah salah satu bukti cinta-Nya... >> Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Ahasabannaasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wahum laa yuftanuun". (QS. Al-Ankabut: 2). Dalam ayat tersebut Allah tidak akan menyebut seseorang sebagai orang beriman sebelum mereka diuji. Karena itulah, anggap saja semua masalah yang kita hadapi itu sebagai ujian, bukti keimanan kita. Dan semoga kita lulus dalam ujian tersebut... Aamiin... >> Hidup adalah masalah, yang harus kita hadapi dengan sabar. Sabar di sini bukan hanya diam dan pasrah saja. Tapi tentu saja berusaha dan berdo'a... >> Laa takhaf walaa tahzan. Innallaaha ma anaa... >> Hadapi semua dengan senyuman... >> Jadikan semuanya sebagai proses pendewasaan diri... dan bla...bla...bla... Intinya, 2 hal yang bisa saya simpulkan, kita harus sabar dan ikhlas... Taukah sahabat, sebenarnya 2 kata tersebut adalah 2 kata yang mudah diungkapkan tapi sulit untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, itu menurut saya. Benar juga apa yang dikatakan oleh salah satu ustadz saya, untuk orang lain, 2 kata itu sangat mudah diucapkan. tp untuk diri sendiri... Masya Allah... sulit skali... Tapi, tentu saja kita harus berusaha untuk bisa melakukan hal itu. Karena jika kita sudah memilikinya... beruntunglah kita. Dengan begitu kita akan mudah dalam menghadapi perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan rintangan... Selamat menghadapi cobaan dengan sabar... Hadapi semua dengan senyuman sobat...!