Sabtu, 28 Maret 2009
Menungu Datangnya Kematian...
Jumat, 27 Maret 2009
Puisi dr Hati yg TerdaLam...
AKU DAN HARAPANKU
Aku adalah manusia yang lemah dan tak berdaya
Yang hanya bisa tertawa disaat bahagia
Dan hanya bisa menangis disaat terluka
Aku adalah manusia yang bodoh dan tak berguna
Yang hanya bisa berteriak ‘tolong’ saat butuh pertolongan
Dan hanya bisa ucapkan ‘terima kasih’ saat menerima kebaikan orang
Aku adalah manusia yang tak punya hati dan perasaan
Yang hanya bisa melihat penderitaan orang
Tanpa bisa berbuat apa-apa
Dan hanya bisa mendengar teriakan orang
Tanpa bisa menghentikan teriakan mereka
Aku adalah manusia yang banyak noda dan dosa
Yang hanya bisa berbuat apa yang kuinginkan
Tanpa tahu apakah perbuatan itu boleh atau dilarang
Dan hanya bisa memohon ampun atas segala kesalahan
Tanpa bisa merubah kesalahan menjadi kebaikan
Tapi aku adalah manusia yang punya harapan
Harapan tuk menjadi manusia yang kuat dan berdaya
Menjadi manusia yang berguna
Menjadi manusia yang punya hati dan perasaan
Dan mempunyai makna dari kehidupan
Karena aku hanyalah manusia biasa
Bukan malaikat yang tanpa dosa
Juga bukan syetan yang penuh dosa
Rabu, 25 Maret 2009
Kepuasan
Apa yang akan ‘sahabat’ lakukan jika sesuatu yang ‘sahabat’ inginkan tercapai? Bingung dengan pertanyannya? Gini deh. Misalnya kita pengen punya sepeda, suatu hari sepeda itu bisa kita beli dengan uang sendiri. Pertanyaannya, apa ‘sahabat’ merasa puas dengan apa yang ‘sahabat’ dapatkan? Well, saya kurang percaya dengan kepuasan ‘sahabat’. Saya yakin, ‘sahabat’ pasti punya keinginan untuk mendapatkan yang lebih dari sepeda. Motor, misalnya. Setelah dapat motor, pengen mobil, begitu seterusnya. Loh, emangnya salah jika kita mempunyai keinginan setelah keinginan yang lain tercapai?
Tenang, tidak ada seorang pun yang akan menyalahkan ‘sahabat’. Yup! Sebagai manusia, wajar saja jika kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan. Malahan bagus banget lho jika kita mempunya rasa ketidakpuasan ini. Kebayang ngga kalo kita ngga punya rasa ini? Punya uang Rp 100,00 saja udah puas, tanpa mencari lagi uang yang banyak… hmm… gimana nantinya?
Kita harusnya bersedih jika kita tidak punya rasa puas ini. Jangan sampai kita mudah merasa puas kalo hasil yang kita dapatkan belum maksimal. Jangan sampai kita merasa puas dengan ilmu yang kita miliki sampai-sampai tidak mau lagi belajar. Tidak terkecuali dengan harta. Jangan merasa cukup dengan uang yang ada di saku, mobil avanza yang berjajar di garasi, alat-alat furniture yang terbuat dari emas, de-el-el.
Sekali lagi saya tekankan, JANGAN PERNAH MERASA PUAS!!!
Tapi,… kok tapi? Iya donk. Sesuatu yang ada di dunia ini ga akan rame kalo ga ada tapinya. Heuheu… ada satu hal yang harus kita ingat. Jangan pernah merasa puas kecuali dengan 3 hal.
Pertama, puas dalam melakukan kemaksiatan. Satu kali saja kita melakukan kemaksiatan, tekadkan diri untuk tidak mengulanginya lagi. Cukup satu kali saja kita terjerumus dalam lubang dosa. Contohnya berbohong. Biasanya, satu kali saja kita melakukan kebohongan, maka akan merentet pada kebohongan-kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongannya itu. Makanya, tekadkan hati untuk mencukupi kebohongan itu.
Kedua, merasa cukup jika apa yang kita lakukan tidak berguna, tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang waktu saja. Contohnya, main judi. Sekarang banyak kan remaja seusia kita yang melakukan judi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terakhir, puas dengan perbuatan yang tidak bernilai ibadah. Hidup kita seluruhnya adalah ibadah. Oleh karena itu, buat apa jika kita melakukan perbuatan yang tidak ada unsur ibadahnya. Ibadah bukan hanya rutinitas saja seperti shalat, zakat, puasa, tetapi main ke rumah teman saja dengan niat ingin mempererat tali silaturahmi adalah ibadah.
‘Sahabat’, semua tergantung pada niat kita. Karena niatlah yang mencerminkan kemana langkah kita akan melaju. Untuk itu, tancapkan niat dalam diri kita bahwa apapun yang kita lakukan tidak termasuk perbuatan maksiat, yang tidak berguna, dan tidak bernilai ibadah.
cerpen <5>
Ah, Deca…
*Versi k'2*
“Ca!” yang dipanggil langsung menoleh ke arahku. Hanya sekejap. Setelah itu ia kembali menekuni pekerjaannya, bertelepon ria. Kali ini entah dengan siapa Deca telpon-telponan. Selalu saja begitu. Setiap aku menghampirinya atau berada di sisinya, di telinga Deca pasti sudah terpasang headset. Aku sampai tidak hapal siapa saja teman telpon dan SMSnya. Buanyak sekali bo. Pusing dech! Aku sudah bosan mengingatkannya. Aku masih ingat percakapan antara kami sepulang sekolah.
“Ca, apa kamu ga bosen telpon-telponan terus kayak gitu? Ga panas tuh kuping? Ga takut tuli muda?” tanyaku yang saat itu dibonceng Deca. Abis, aku takut terjadi apa-apa. Tabrakan, misalnya. Karena Deca ga focus k eke motornya. Masa bonceng aku sambil telponan sama cowoknya…?
“Deca, kamu ga liat apa, di depan ada truk gede (emang ada ya truk yang kecil? Heuheu…)???” teriakku ke telinganya. Dan yang membuatku semakin sebel en kesel adalah dia malah ngakak (tertawa sodara-sodara).
“Aduh, Gis…. Pliz deh. Yang panas tuh kuping Eca, yang bakalan tuli juga Eca, bukan Agis. Kalo Eca yang telpon-telponan tapi Agis yang tuli, baru Eca boleh protes. Lagian, selama ini Eca baek-baek aja
Setelah itu aku ga bias ngapa-ngapain lagi.
* * *
“Gis, ngaji ke mesjid Al-Ma’mun yuk!” ajak Deca sambil narik-narik bajuku. Kayak anak kecil aja… saat itu aku baru aja selesai shalat isya. Belum sempat makan. Tapi bukan itu yang membuatku kaget. Deca ngajak ke pengajian? Di mesjid Al-Ma’mun, lagi? Wah, asli deh. Aneh banget. Keajaiban dunia, friend! Biasanya kalo aku ajak dia ke pengajian, dia pasti nolak. Secara halus maupun sebaliknya. Makanya, dengan sisa-sisa keherananku, walaupun aku rada malas, aku pergi aja ke pengajian itu. Demi merayakan perubahan Deca.
* * *
“Gis, ke Al-Ma’mun lagi, yuk!” ajak Deca. Aku hanya mendelik. Kapok. Ga mau lagi deh nganter en sama-sama Deca ke jalan Al-Ma’mun. Minggu kemaren aku seneng banget dengan perubahan Deca yang mau ke pengajian. Tapi itu sebelum aku tau apa motif kepergiannya itu. Setelah tau motif Deca yang sebenarnya pengen ketemuan sama salah satu temen cowoknya di HP, kapok deh! Aku cumin dijadikan kambing congek. Aaaa…. Deca….
Katanya, Deca ga diijinin keluar rumah sama ibunya kalo untuk ketemuan sama cowok. Makanya, Deca menggunakan aku sebagai tumbal dan bilang ke orang tuanya kalo dia mau ke pengajian sama aku. Mereka ga akan curiga kalo Deca perginya sama aku. Aku
Aku ngga bisa berbuat apa-apa selain berdoa supaya Deca berubah, kembali seperti yang dulu. Semoga kau berubha Deca…. Aku merindukan sosok Deca yang seperti dulu. Deca yang baik, yang selalu digandrungi sama sahabat-sahabatnya. Ah, Deca…
cerpen <4>
cerpen <3>
Cerpen <2>
“Ca!”
Yang dipanggil langsung menoleh ke arahku. Hanya sekejap. Setelah itu ia kembali menekuni kerjaannya. Bertelepon ria. Selalu saja begitu. Setiap aku menghampirinya atau ada di sisinya, di telinganya pasti sudah terpasang headset dan sedang cuap-cuap sama cowoknya. Kali ini, entah dengan siapa Deca telpon-telponan. Aku sampai tidak hapal siapa saja temen telpon dan SMS-annya. Saking buanyaknya, bo. Puzing deh.
Aku udah bosen mengingatkannya. Aku masih ingat percakapan kami sepulang sekolah.
“Ca, apa kamu ga bosen telpon-an terus kayak gitu? Ga panas tuh kuping? Ga takut tuli muda?” tanyaku saat dibonceng sama Deca. Abis, aku takut banget terjadi apa-apa. Tabrakan, misalnya. Krena Deca ngga focus ke motornya. Masa bonceng aku sambil telpon-an sama cowok…. Dasar!
“Deca…. Kamu ga liat apa, di depan ada truk, tau!!!” teriakku ke telinganya biar rebek sekalian. Dan yang membuatku semakin kesel en sebel, dia malah ngakak. Tertawa sodara-sodaraku sekalian…
“Aduu…. Gis…. Please deh! Yang panas kan kuping Eca. Yang tuli juga kuping Eca. Bukan Agis. Kalo Eca yang teleponan tapi Agis yang tuli, baru Agis boleh protes. Lagian… selama ini Eca baek-baek aja kan? Kuping Eca masih normal. Dan yang pasti, I’m happy!!!” setelah itu, aku ga bias apa-apa lagi. Cape sendiri. Yah… mudah-mudahan Deca sadar sendiri dan mulai mengurangi jatah waktunya untuk telponan sama para cowok bego (eh, itu asli kata Indah, lho…. Sebutan para cowok yang suka teleponan sama Deca)
* * *
“Gis, solat taraweh ke Al-Ma’mun, yuk!” ajak Deca sambil menarik-narik mukena yang masih kupakai. Aku baru saja selesai shalat Maghrib. Belum sempat makan makan acan. Padahal perut lapar banget setelah seharian ga makan dan minum. Tapi bukan itu yang membuatku kaget. Deca ngajak ke mesjid? Mesjid Al-Ma’mun, lagi? Wah, asli deh. Aneh banget. Malem-malem sebelumnya, kalo aku ajak ke mesjid An-Nur yang ada di dekat rumah kami, dia selalu menolaknya. Alasannya sih ga masuk akal, pastinya. Males, katanya. Tapi sekarang? Deca ngajak ke mesjid Al-Ma’mun yang bacaannya pada panjang itu? Duh, keajaiban dunia, friend!
* * *
“Gis, nanti taraweh ke mesjid Al-Ma’mun lagi, yuk!” ajak Deca. Aku hanya mendelik. Kapok. Ga mau lagi deh nganter or sama-sama Deca ke mesjid Al=Ma’mun. kemaren, aku seneng banget ngeliat perubahan Deca yang mau shalat tarawih ke Al-Ma’mun. tapi itu sebelum aku tau motif kepergiannya itu. Setelah tau motif Deca yang sebenarnya pengen ketemuan sama salah satu temen cowoknya di HP… kapok deh. Aku cuman dijadikan kambing conge. Aaaaaaaa……. Decaaaaaaaaaaa…… Katanya, Deca ga diijinin keluar rumah kalo untuk ketemuan sama cowok. Makanya Deca menggunakan aku sebagai tumbal dan bilang ke ortunya kalo kami mau shalat tarawih ke Al-Ma’mun. dasar! Emangnya aku apaan?!?!
Deca, di bulan yang suci ini, aku berharap dan berdo’a, semoga kamu berubah. Semoga di bulan yang penuh berkah ini, kamu diberi hidayah oleh Allah. Jadikanlah bulan yang penuh hikmah ini sebagai ajang pelatihan untuk menjadi pribadi yang baik dan shaleh. Aamiin…